Selamat Datang

Selamat Datang di Artonespace Jelajah Online

Asal-usul Desa Randusari Kecamatan Pagerbarang



Dalam laman ini saya akan  menyampaikan  kisah-kisah berkesan yang dapat dijadikan sebagai pengalaman dalam hidup, baik untuk saya pribadi maupun untuk orang lain. Kisah-kisah ini adalah sebuah jelajah hidup saya yang merupakan sebuah proses kehidupan yang mungkin dapat menjadi pelajaran bagi semua khusunya saya dan anak-anak tercinta saya.

Tapak I “Jeladjah Desakoe Tempo Doeleoe”

Aku dilahirkan di sebuah desa di kabupaten Tegal. Bila teringat gambaran desaku saat aku kecil seakan tak inginaku beranjak dewasa. BERHIAS itulah motto desaku waktu aku masih kecil sebelum mengenyam pendidikan. Berseri, Hijau, Indah dan Asri kemungkinan itulah kepanjangan dari kata BERHIAS.
Desaku terletak di tengah-tengah persis antara kaki pegunungan gunung Slamet dan garis pantai utara. Lokasi yang menurutku sangat nyaman sebagai lahan hunian.
Sebelum tahun tahun 90-an desaku begitu pas dengan motto yang terpajang di setiap sudut desa. Tingkat sosial masyarakat waktu itu masih kental dengan budaya pedesaan, sehingga gotong-rayong masih banyak dijumpai dalam setiap kegiatan kemasyarakatan.
Hijau, hangat, dan bersahabat mungkin pas sekali untuk menggambarkan kondisi alam desaku  kala itu. Suara jangkrik malam, bahkan sesekali suara burung hantu sering sekali terdengar sebagai musik alam yang selalu meninabobokan masyarakat desaku. Hening malam dengan buratan sinar bulan, kadang menambah suasana desaku semakin sunyi dan damai. Alunan dan geretan batang-batang bambu dengan daunnya yang sering sekali menyemarakkan suara kedamaian malam di desaku. Semakin beranjak malam maka semakin damai.
Kokok ayam jago rutin membangunkan raga kami kala dini hari sudah mulai berganti pakaian menjadi fajar. Seolah sudah menjadi jadwal yang tidak pernah telat setiap hari-setiap pagi. Selain alaram alam ini, sebelum kumandang azan subuh kami juga selalu diperdengarkan suara alam lain seperti gemelotak roda Pedati, dan gemerudug rombongan kerbau yang akan dimandikan (diguyang) di sungai desaku.
Sahutan azan kemudian menggema menyerusuk ke dalam telingaku, kemudian berjalan menusuk relung hati dan membuncah sampai di otakku. Mata yang terpejam seolah langsung terhenyak segera terbuka untuk memenuhi panggilan azan.
Sudah menjadi kebiasaan ayahku, setiap pagi aku selalu diajak berjamaah di musholah lingkungan masyarakat desaku. Sebuah pendidikan yang mungkin tidak setiap anak-anak lain seumuranku kala itu memilikinya. Pendidikan untuk berlaku disiplin dan giat beraktivitas sebelum ayam keluar kandang untuk mencari makanan.
Udara pagi di desaku dulu masih sangat bersih karena belum terkontaminasi oleh polusi udara yang disebabkan asap knalpot dan lainnya. Semua serba alami, petani selalu membajak sawahnya dengan kerbau. Anak-anak kecil masih banyak yang gemar mencari burung di sawah dan kebun tebu. Ikan di sungai masih dapat dilihat dari atas sungai, sehingga memudahkan untuk dipancing dengan kail.
Randusari, itulah nama desa tercintaku. Kemanapun aku pergi aku akan selalu merindukannya.
Desaku yang kucinta
            Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
Dan handai taulanku
Tak mudah kulupakan
Tak mudah bercerai
Selalu kuimpikan
Desaku yang permai
                        (Bu Kasur)



Tapak II “Jelajah Asal Usul Desaku”

Kabut kadang masih memenuhi sela-sela dan rongga desa menjadi teman saat aku berangkat sekolah. SD Negeri Randusari 01 tempat aku menempuh Sekolah dasarku. SD yang sudah menjadi titik awal mulai dikembangkannya sistem pendidikan rakyat. Merupakan SD favorit dari 35 SD yang ada di kecamatan Pagerbarang, salah satunya adalah SD Randusari 01 tempat aku menuntut ilmu.
Randusari merupakan salah satu dari 13 desa di kecamatan Pagerbarang kabupaten Tegal. Desa terbesar dan terbanyak penduduknya dibandingkan dengan desa-desa yang lain. Desa ini merupakan gabungan dari dua desa yang disatukan pada masa perjuangan Republik Indonesia.
Desa Randusari merupakan daerah  perbatasan antara kabupaten Tegal dengan Kabupaten Brebes. Desaku Masih termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tegal. Berpenduduk sekitar 12 ribu jiwa lebih dengan 6 pedukuhan termasuk wilayah teritorial kecamatan Pagerbarang.
Pada jaman Kemerdekaan Desa Randusari merupakan gabungan dari dua desa di wilayah kabupaten Tegal. Yaitu desa Dukuhrandu dan desa Kertasari, dengan digabungnya kedua desa tersebut maka nama desa disepakati dengan nama Randusari. Tepatnya pada tahun 1925 m, Desa Dukuhrandu yang wilayahnya meliputi Mulyoharjo, Jatiwangi dan Randusari bagian barat saat ini, digabung dengan desa Kertasari yang wilayahnya meliputi desa Semboja khususnya dukuh Jatipelag, Sumbregan bahkan sebagian daridesa Slarang Lor. Pada tahun 1945 M, kedua desa Randusari sempat akan tersentuh pemekaran kembali disebabkan karena wilayahnya masih luas. Namun demikian karena sesuatu hal, pemekaran desa tidak samapai terjadi, sehigga hingga sekarang desa Randusari masih tetap utuh.
Konon sebelum ada desa Randusari, tersebutlah seorang tokoh atau sesepuh desa Dukuhrandu yang bernama Mbah Santeg. Beliau merupakan salah satu prajurit pilihan dari pasukan Untung Suropati dari Jaya Karta.
Pada saat Untung Suropati dimintai bantuan oleh Mataram Islam untuk melawan Penjajah. Dalam perjalanannya menuju Mataram, Untung Suropati menempatkan panglima-panglimanya menjadi spionase atau telik sandi untuk kepentingan kerajaan Jayakarta pada waktu itu. Dimaksudkan agar dapat mengetahui kantong-kantong penjajah pada masa itu. Mbah Santeg akhirnya ditempatkan di desa Dukuhrandu yang masih bersebelahan dengan desa Kertasari.
Desa Kertasari, meskipun merupakan tetangga desa dukuhrandu namun secara garis keturunan masih ada pertalian darah dengan masyarakat desa Dukuhrandu. Tak heran untuk sesepuh kedua desa tersebut merujuk kepada seorang tokoh central yang paling disegani yaitu mbah Santeg yang masih merupakan anggota pasukan khusus dari Untung Suropati dari Jayakarta.
Benang merah inilah yang mungkin menjadikan masyarakat desa Randusari sebagian besar mencari penghidupan atau mengadu nasib di Jaya Karta (sekarang Jakarta). Dibanding desa yang lain di kecamatan Pagerbarang, warga desa Randusari seperti sangat mendominasi nilai prosentase perantau ke Jakarta.
Panggilan jiwa dari sang leluhur bisa jadi seperti itu sebutannya. Sepertinya sudah ada yang menggiring untuk ke Jakarta. Ada ikatan batin untuk pulang ke Jakarta, yang merupakan kampung halaman Mbah Santeg.
Ada hal yang lebih membuat desa Randusari seharusnya diperhitungkan lagi. (Hamam, Babad Nagari Tegal. 2005:27)Tumenggung Tegal, atau yang disebut Raden Purbaya pada masa Tegal masih menjadi kerajaan bayangan dari Mataram Islam, tepatnya masa pimpinan Ki Gedhe Subayu, disinyalir Tumenggung Tegal berasal dari desa ini sebelum ada penggabungan. Yakni dari desa Kertasari. Nama awal Tumenggung Tegal adalah Raden Angrabaya, beliau diduga merupakan Admiral Turkey yang mengungsi akibat terjadinya perang di Banten. Setelah menghindari peperangan karena merasa diadu domba oleh VOC, maka beliau menyingkir menuju daerah pesisir utara pulau Jawa. Tepatnya beliau menetap di dukuh Sumbregan, desa Kertasari.
Menyamar dengan nama Ki Jaduk, lantas beliau mendirikan padepokan di dukuh Sumbregan tersebut. Pada saat Ki Gedhe Subayu akan memugar masjid utama Kadipaten Kalisoka, maka ki Gedhe Subayu mengadakan sayembara untuk merobohkan pohon jati  keramat untuk diambil kayunya sebagai soko guru bangunan masjid.
Dari sekian banyak jawara atau pendekar yang maju ternyata tidak ada yang mampu menumbangkan jati keramat yang letaknya sekarang menjadi bangunan Brigif Infanteri 207. Sayaembara melibatkan 25 pendekar yang merasa mempunyai kedigdayaan untuk merobohkan pohon jati keramat.
Satu-demi satu pendekar tersebut gagal. Namun saat tiba giliran pendekar yang terakhir(yang ke-25) yaitu ki Jaduk, beliau  ternyata dapat menumbangkan jati tersebut dengan kedigdayaannya. Karena jumlah pendekar yang ikut sayembara itu berjumlah dua puluh lima orang atau dalam bahasa Jawanya disebut selawe wong maka daerah sayembara dan tumbangnya pohon jati tersebut diberi nama Selawe atau yang sekarang disebut Slawi.
Setelah itu ki Jaduk atau Raden angrabaya atau orang biasa menyebut Raden Purbaya dapat menumbangkan jati keramat itu,  maka dinikahkanlah Raden Purbaya tersebut dengan putri ki Gedhe Subayu yang bernama Raden Ajeng Siti Giyanti Subalaksana. 
Setelah Ki Gedhe Subayu mangkat,  tampuk pimpinan dilanjutkan oleh putra lelakinya yang bernama Ki Ageng Hanggawana selama lima tahun. Sesudah  masa kepemimpinan Ki Hanggawana selesai, maka pucuk pimpinan adipati Tegal dipegang oleh Raden Purbaya, kemudain dalam sejarah beliau lebih dikenal dengan sebutan Tumenggung Tegal.
Itulah sekelumit sejarah atau asal muasal desa Randusari. Semoga yang sedikit ini dapat mengurangi rasa haus pembaca dalam mencari literature sejarah khususnya sejarah Desa Randusari dan umumnya sejarah kabupaten Tegal.

Tapak III”Kepercayaan Masyarakat Desaku”

Kepercayaan merupakan warisan budaya leluhur kita. Keberadaannya tidak mungkin hilang hanya dengan usapan telapak tangan manusia.  Artinya kepercayaan akan terus berkembang selama masyarakatnya masih berkiblat kepada nenek moyang.
Begitu juga dengan kepercayaan yang berkembang di desa Randusari. Ada banyak sekali kepercayaan yang hingga sekarang masih tetap terjaga kelestariannya. Untuk itu, saya akan coba sampaikan satu persatu meskipun tidak semuanya, agar pembaca bisa bertambah khasanah pengetahuan sejarah dan budaya negeri kita ini.
Yang pertama adalah kepercayaan bahwa setiap anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu rumahnya, katanya akan menjauhkan jodoh. Kemudian jika ada anak laki-laki bujang yang suka memegang dan bergantungan tangannya di balok pintu depan rumahnya, itu bertanda ia ingin segera menikah. Tidak di perbolehkan orang menjahit baju pada malam hari, pamali atau ora ilok. Tidak boleh beli silet atau jarum pada malam hari juga. Tidak boleh tidur setelah sholat subuh, katanya akan membuat otak manusia menjadi bodoh. Juga tidak boleh tidur setelah sholat asar, di sinyalir dapat menjauhkan rejeki. Tidak boleh menyebut ular bila sudah malam, harus menyebut oyod atau dalam bahasa Indonesia nya disebut akar. Apabila ada yang sakit mata bintitan atau timbilen, maka obatnya membuang garam ke sumur sambil terlebih dahulu ditempelkan garam tersebut kepada mata yang timbilen. Apabila ada anak kecil giginya lepas, maka gigi yang lepas tersebut harus dibuang secara berlawanan. Contoh apabila yang lepas adalah gigi atas maka harus dikubur, jika yang lepas gigi sebelah bawah maka harus dibuang di atas genting. Tidak boleh meletakkan tampah sambil berdiri, maksudnya tampahnya yang diberdirikan, katanya bisa dideketi orang gila. Tidak boleh menyapu lantai saat ada tamu dan malam hari, dinilai mengusir tamu dan membuang rejeki. Apabila langit mendung erus tidak menginginkan hujan, maka biasanya orang-orang meletakkan sapu lidi sambil terbalik atau membuang celana dalam ke atas genting.
Sebenarnya masih banyak lagi kepercayaan yang keberadaannya masih sering dijumpai di daerah saya. Namun karena tulisan ini bukan merupakan tulisan penelitian maka sekiranya yang demikian cukup untuk bahan pengetahuan pembaca.
Tapak IV”Perundangan di Masyarakat Desaku”

Perundangan merupakan podasi utama dalam pemerintahan. Meskipun perundangan desa sudah diatur oleh negara, tetapi perundangan yang masih mencerminkan budaya asli masyarakat pedesaan masih kental. Namun hal itu tidaklah terlalu banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya saja apabila ada selisih paham yang terjadi dalam masyarakat, biasanya diserahkan kepada sesepuh desa saja, tidak perlu harus ke kepala desa atau kepolisisan. Contohnya apabila ada yang sengketa warisan, maka kedua belah pihak yang bertikai diajak warga untuk menemui kyai setempat. Setelah itu kayi tersebut harus memutuskan sesuatu yang adil sesuai syariat agama. Kedua belah pihak yang bertiaki pun harus menerima keputusan tersebut.
Ada juga contoh yang lain, apa bila ada muda mudi yang kumpul kebo atau berbuat mesum lantas ketahuan warga, biasanya kedua pasangan tersebut segera diarak untuk dibawa ke lebai setempat atau ke kantor desa kemudian di nikahkan di depan masyarakat. Namun kejadian itu diambil apabila laki-lakinya tidak mau bertanggung jawab. Apabila mau bertanggung jawab masalahnya cukup diserahkan kepada keluarganya masing-masing.
Untuk perundangan tidak dapat penulis sampaikan terlalu banyak, karena perundangan dalam masyarakat sekarang ini hampir totalitas dipegang kendallinya oleh pemerintah. Dalam hal ini yang berwenang adalah pemerintah desa setempat.

Tapak V”Adat-istiadat Desaku”

Dalam adat-istiadat di desa Randusari hampir tidak ada perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan desa-desa yang lain. Disebabkan faktor rumpun atau budaya suku yang berperan vital dalam hal ini. Penulis akan coba sebutkan contoh-contohnya semoga pembaca dapat memahami dan menjadikan wawasan baru bagi pengetahuan pembaca. 
Ada adat mapati dan mitoni bagi Ibu hamil. Mapati berasal dari kata papat artinya empat, yang dimaksud empat disini adalah empat bulan usia kehamilan. Baisanya dalam usia empat bulan kehamilan, akan diadakan tasyakuran. Maksud tasyakuran tersebut adalah pada umur kandungan tersebut dipercaya bayi dalam perut mulai ditiupkan Ruh dari Allah Swt. Agar ruh yang ditiupkan kelak menjadi anak atau orang yang baik dan banyak rejeki maka pada usia hamil empat bulan itu diadakan tasyakuran, berdoa agar anak yang dikandung kelak menjadi anak yang mulia.
Mitoni dengan mapati hampir tidak ada bedanya, berasal dari kata pitu atau tujuh. Pada usia kehamilan tujuh bulan, bayi biasanya diselamatani dengan bermacam-macam ritual. Yang berbeda dengan mapati adalah usia tujuh bulan itu adalah usia dimana bayi hampir lahir ke dunia, sehingga prosesi acaranya lebih rumit dibanding mapati.
Biasanya kalau mitoni, ada persiapan khusus seperti kelapa gading dua buah dengan diberi gambar wayang sesuai pilihan orangtuanya. Misalnya gambar Wrjuna dan Srikandi dimaksudkan agar apabila yang lahir laki-laki maka diharapkan berwajah tampan seperti Arjuna. Bila perempuan yang lahir maka diharapkan agar kecantikannya seperti dewi Srikandi.
Disertakan pula biasanya boneka dari labu panjang dengan dihiasi uang recehan. Dimaksudkan agar prosesi persalinan si jabang bayi kelak lancar tidak ada kendala. Juga agar kelak saat menempuh kehidupan diberi kelebihan harta. Sambil dibacakan kitab Barzanji agar anak yang lahir kelak menjadi anak yang soleh atau soleha.
Ada pula adat tumplek ponjen saat prosesi pernikahan, dimaksudkan agar pasangan pengantin kelak hidup makmur dan banyak rejeki. Masih dalam prosesi pernikahan, ada ritual pecah telur, lempar sirih, saling suap, dan lain-lain yang kesemuanya dimaksudkan agar kelak pasangan pengantin dapat hidup berumah tangga dengan langgeng, aman, damai, dan melimpah rejeki.
Ada lagi yang menarik dalam adat-istiadat desa kami, ada yang namanya prosesi buka kaki. Buka kaki yang dimaksud adalah permulaan orang mau membangun rumah tempat tinggal. Agar rumahnya terbebas dari bala bencana, serta penghuninya selalu rukun juga betah. Macam-macam yang disyaratkan dalam buka kaki ini, mulai ada kelapa, padi, buah-buahan, yang unik lagi wajib ada bendera merah putihnya.
Dalam memanen padi dan khajatan juga ada ritual khusus yang harus dilakukan sebagai adat-istiadat. Setiap musim panen dan hendak khajatan harus ada sesaji yang dikhusukan untuk ruh para leluhur. Demikian pula bila ada ritual tolak bala dan pindahah rumah, jug aharus ada sesaji yang disuguhkan untuk ruh nenenk moyang. Padahal secara logika hal tersebut tidak ada korelasinya. Namun yang namanya adat tidak dapat dihilangkan begitu saja, biarlah hilang seiring bergesernya nilai-nilai budaya yang ada.  Karena untuk menggusur keberadaan adat adalah gaya hidup modern yang selalu mengedepankan logika dari pada mitos.Demikian sekilas adat-istiadat yang dapat penulis sampaikan semoga bermanfaat bagi perbendaharaan pengetahuan pembaca. saya berharap tulisan ini selain bermanfaat untuk saya semoga tulisan ini dapat menjadi literature bagi pembaca dalam memahami pengetahuan tentang asal-usul desa Randusari khususnya dan Kabupaten Tegal secara umum beserta adat-istiadatnya yang berkembang hingga sekarang.  


TAPAK VI. "Kebudayaan dan Nilai-nilai Sosial Desa Randusari"

Kebudayaan merupakan cermin dari sebuah peradababan. Keberadaanya tidak mungkin tidak meng'ada' artinya, selama ada kehidupan masyarakat maka di situ pula ada nilai kebudayaan. Begitu pula dengan desa Randusari, kebudayaan yang ada begitu banyak karena unsur masyarakatnya masih memegang tradisi ke'desa'an. 
Budaya-budaya tersebut masih jelas terlihat keberadaannya meskipun ada beberapa yang sudah mulai hilang digerus zaman. Budaya yang smestinya masih dipertahankan tetapi keberadaanya melebur dengan perubahan zaman yahng makin menguasai. Masyarakat Desa Randusari masih memegang tradisi yang membuat sedikit banyak kebudayaan masih terlihat di sini.
Adapun kebudayaan yang masih terlihat dan masih eksis contohnya seperti di bawah ini:
  1. Budaya Nyadran
  2. Budaya Jandoan
  3. Budaya Derep
  4. Budaya Tandur
  5. Budaya sinoman
  6. Budaya Terbanagan
  7. Budaya Jamiyahan
  8. Budaya Dolanan
  9. Rebo Wekasanan
  10. Ruwahan
Budaya dolanan sendiri ada yang menarik jika ditilik lebih dalam, 
  1. Dolanan Gobaksodor
  2. Umpet-umpet madu
  3. Ji'ung-ji'ungan
  4. Garon
  5. Balang patok
  6. Balang watu
  7. Lompat tinggi
  8. Balang patah
  9. Balang karet
  10. Kethoprakan
  11. Penekeran
  12. Panggalan